Hi, selamat sore, sesi kali ini akan membawa pembahasan tentang health insurance 75 Soal PSC, Cost Recovery dan Cost per Barrel - Dongeng Geologi simak selengkapnya
Soal Cost Recovery dalam PSC term (Production Sharing Contract / Kontrak Bagi Hasil) di perminyakan di Indonesia sudah beberapa tahun ini bergejolak. Kita lagi barusan takjub adanya cerita penyelewengan cost recovery yg ditulis di Jawa Pos (Penyimpangan Cost Recovery Rp 18,06 T.) Waddduh ini memperhebat kuantitas yang sahohah. Apa bercakap-cakap bener “bocor” segitu berjibun “ngga terasa“.
Tahun lalu abdi sudah menulisakan dampak dari sistem crafting (relinguishment) dalam PSC term di Indonesia disini . Disitu abdi dulu mengartikan apa pasal cost recovery di Indonesia banyak besar dibandingkan dengan daerah tentangganya Malaysia, lagi disitu abdi lagi berupaya mengartikan apa pasal alam aplikasi di Indonesia absolut tak berbunga setelah tigapuluh tahun berproduksi.
Kali ini abdi coba udar-udar lagi satu-satu
– π “Nyuwun sewu Dhe, crafting sytem itu panganan nopo ta ?
+ π “Itu istilah pengembalian alam (bhoso londone relinguisment), Maksudnya begini, alam explorasi biasanya banyak banglas awalnya.Setelah masa investigasi awal (misal 4+2 tahun) di Indonesia, pemborong diwajibkan mengembalikan sebelah daerahnya (partial relinguishment). Dan nanti setelah mendapatkan petro alias angin maka sekadar alam yg dinyatakan komersil saja yang boleh di”tahan” bagi sang pemborong migas itu. Lah bentuknya itu yang absurd analog diukir-ukir mulane abdi tutur crafting (diukir analog kera
njingan tangan). Sedangkan di Malysia pengembalian sekadar wajib dilakukan amat atas saat alam temuan bakal diproduksikan (lihat gambar dibawah). Di Malaysia alam yg dipertahankan pemborong sekadar sekecil banglas alam dataran minyaknya saja, di Indonesia yg ditahan 20% dari aslinya”.
Soal PSC (Production Sharing Contract), saat ini bertambah dikenal dengan KKS (Kontrak Kerja Sama).
Hampir semua ‘mata‘ menurut alamiah dengan banal bakal membesuk cara penilaian dalam sistem PSC terutama soal fiskal, pajak, keuangan dengan keekonomian. Di Indonesia yg saat ini dipelototon soal Cost Recovery. Jarang yang cerling bahwa sistem PSC bukan sekadar soal keekonomian. Tapekno ya alami ta, wong ini soal bisnis, bisnis itu baiklah soal duwik, soal money, soal rupiah atawa dollar. Dan memang benar bottom-line nantinya baiklah duwik itu lagi nantinya.
Tetapi pelajaran yang abdi ambil dari perbandingan dalam tulisanku itu memberitahukan bahwa Sistem Relinguishment lah yang jadi alpa ahad sumber utama membengkaknya cost recovery. Inget ‘salah satu’ saja looh baiklah … ‘salah’ yang beda barangkali lagi ada.
Nah gambar diatas ini memvisualkan realitas dua alam yg di Indonesia (di Riau, Sumatra Tengah) dengan di Malaysia (Sarawak offshore). Terlihat dua alam dimana producing bilangan di Indonesia yg di”pegang” bagi kongsi migas jauh bertambah besar (luas) ketimbang di Malaysia. Mengapa bisa begitu ? Ya jawabnya sedia ditulisan abdi lebih dahulu disini itu tadi.
Soal Cost Recovery
Apa konsekuensi akhir luasnya alam yang dipegang ini ? Gambar dibawah ini sebagai sampel yang abdi ambil dari catatan abdi sebelumnya. Dalam jalan cerita ini memberitahukan sumber W5 dengan W6 dibor setelah masa investigasi awal 2-6 tahun alias dibor atas saat alam sudah dinyatakan komersial. Maka yang berjalan merupakan sumur W5 dengan W6 jadi cost recovered di Indonesia, meskipun dengan sistem PSC di Malaysia sumber W5 dengan W6 tak cost recovered.
(silahkan di klick untuk membesarkan gambarnya).
Dari ilustrasi diatas banyak jelas hadir pengaruh kuantitas uang cost recovery yang dibayarkan bagi daerah ke kontraktor. Apakah kotraktor alpa ? Jelas TIDAK . Mereka (kontraktor) banyak mungkin melancarkan bertemu dengan aturan main di Indonesia. Dan aturan alias kesepahaman PSC-nya lah yang membiarkan dengan cara ini. Justru kesalahan bukan di sistem cost recoverynya lamun di sistem relinguishement-nya (atau sistem craftingnya).
Sayangnya, sistem crafting ini sering tak disadari bagi host country (salah satunya di Indonesia).
Soal Cost PerBarel
Waddduh soal cost ini soal peka … lah bercakap-cakap lah,
Wong bisnis baiklah mikirnya soal cari duwik, andaikan bisnis mikir soal mendermakan duwik baiklah bangkrut nanti.
Cost perbarel di Indonesia dilaporkan bagi BPKP yang abdi sitir dari koran :
““Itu untuk alit cost bagi barel yang di Indonesia masih USD 9,027,” kata dia. Menurut Didi, kuantitas tersebut masih jauh bertambah tinggi dibanding Malaysia yang sekadar USD 3,7. Bahkan, di negara-negara kawasan North Sea yang medannya membelokkan alot pula cuma USD 3.“
sedangkan Menurut Kardaya, biaya pabrikasi petro di Indonesia bahkan bertambah murah. Biaya pabrikasi di dataran Chevron Pacific Indonesia sekadar sekitar 1 dollar AS bagi barrel.
Wah, apa pasal angkanya beda banget ? Lah bercakap-cakap beda banget yang ahad (Pak Kardaya) mungkin membesuk field basis yang sering bersarang dalam POD (plan of developement) setiap bakal membeberkan dataran petro yang baru diketemukan, meskipun BPKP mungkin melihatnya dari keseluruhan PSC dimana biaya ngebor sumur investigasi selama masa pabrikasi inipun dimasukkan sebagai biaya yang harus dibayarkan juga. Ya tentusaja BPKP benar, akibat sumur-sumur investigasi didaerah yang saat ini sudah dinyatakan menguntungkan boleh dimasukkan dalam cost recovery. Hanya sumur-sumur yang dibor bagi pemain-pemain PSC baru memang tak (belum) bersarang dalam cost recovery.
Sebagai gambaran riil, dalam ambang tigabulan terakhir tahun lalu saja (oct-Dec) sedia bertambah dari 10 aplikasi pengeboran, dimana mungkin 70% diantaranya melahirkan pengeboran investigasi didaerah yg sudah dinyatakan komersial. Artinya pengeboran sumur-sumur investigasi inipun termasuk cost recovery atas tahun berjalan. Dan biaya ngebor sumber ini bakal bersarang dalam perhitungan BPKP. Individual field alas economic evaluation, yang sering tercantum dalam POD (plan of developement) mungkin tak bakal memasukkan faktor itu.
Nah kala membandingkan cost recovery dengan daerah tetangga Malaysia, tentusaja biaya ngebor sumber saat ini jauuuh bertambah besar dari tahun-tahun sebelumnya. Pernah lagi abdi catat lebih dahulu disini. Silahkan toleh Newsweek ciptaan 9 October 2006. Disini jelas biaya ngebor sumurnya memang sudah banyak jauh meningkat akibat situasi pasar.
- Drilling Rig Cost (biaya pengeboran) : di Gulf Mexico kejayaan 400%, di North Sea 130%, Semi Sub (Rig besar utk deepwater) meningkat jadi 180%.
- Equipment Cost (biaya alat) : Pompa ke atas 19%, Pipa kriteria naik40%, Pipa khusus ke atas 50%.
- Construction Cost (biaya konstruksi) : Biaya pegiat ke atas 25%, biaya arsitektur baja ke atas 75%, biaya manajemen projek ke atas 85%.
Employee Related Cost – ERC (biaya/pengeluaran yg berangkaian dengan kepegawaian)
Kalau diskusi ini dimasukkan dalam diskusi para bernas perminyakan, yang membelokkan sering disoroti merupakan banyaknya “bule-bule” yang bekerja di Indonesia. Jelas amat terlihat, ahad anak buah bule ditengarai berbiaya 10 kali lipat biaya karyawan lokal. Lah wong asing tentunya harus dijaga khusus, bangunan mewah, supir dengan sebagainya. Lah bercakap-cakap alami mereka yg memiliki duwik, dengan pegiat ekspat selalu mahal. Namun andaikan amuh detil diperhatikan sebenernya employee related cost dalam sebentuk bujet kongsi migas sangatlah kecil. Perkiraan abdi sekadar sekitar 3% dari bujet total operasi. Saya tak memafhumi angkanya pasti, akan tetapi abdi yakin biaya pengeboran dengan survey seismic melahirkan biaya yang suangat besar dalam sebentuk bujet perminyakan selain arsitektur ekspansi alat produksi. Jadi issue ERC yang tinggi akhir banyaknya bule di Indonesia rendah signifikan dampaknya atas cost recovery.
– π “Lah trus pripun dhe kesimpulane ?”
+ π “Lah baiklah sakmestinya membesuk cost recovery jangan sekadar dikertas angka-angka saja, lamun sistem PSC (KKS) itu melahirkan sebentuk sistem strategis paser jangka lengkung panjang. Bagi host country (negara bendoro rumah), sistem ini berjangka tidak hingga, alokasi sang pemborong sekadar parsial 20-30 tahun saja”
– :(“maksudte soal bule-bule niku leh“
+ π ” Hallah kowe ki mual urusane karo gaji wae meri karo bule, mual kon mbut ge njaluk padakke saki wae”
– π “… ugh … Pakdhe nyenyengit !! … mbak baiklah njenengan mbalik ke Indonesia, ta” ….Sakiyun mbesengut … π
Nah masa ini sedia lagi ROC – Recovery over Cost
– π “Waddduh nopo berganti niku Pakdhe ?”
Di Malaysia lagi sedia Cost Recovery, lamun namanya ROC … maksudnya biaya yang bakal diganti (recoverynya) tergantung dari besarnya biaya. Maksudnya begini, kuantitas yang bakal di recovery berubah mengecil kala costnya membesar. Dengan demikian berjalan auto control terhadap cost. Lah bercakap-cakap memperhebat ? Si Kontraktor ngga mau costnya tinggi, akibat kalau costnya tinggi maka yang diganti apalagi jadi kecil. Kontrol efisiensi bakal berangkat dengan sendirinya sonder harus repot-repot mengawasi AFE yang sangat mudah eh banyak mungkin digelembungkan.
+ π “Lah saiki wis eruh ta Le ? Nek durung ngerti dibaca meneh, dibaleni dari atas”
– π “ Waaaks, mumet Dhe !”
Paper abdi di IPA tahun 2007 tentang perbandingan PSC di Asia dapat di donlod disini. Atas kebaikan IPA (Indonesian Petroleum Association)
oke detil tentang Soal PSC, Cost Recovery dan Cost per Barrel - Dongeng Geologi semoga info ini bermanfaat terima kasih
Artikel ini diposting pada tag health insurance 75, health insurance for age 75, travel health insurance over 75, , tanggal 25-08-2019, di kutip dari https://geologi.co.id/2007/01/25/soal-psc-cost-recovery-dan-cost-per-barrel/
No comments:
Post a Comment