Background: It has been reported that there are some obstacles in the implementation of the National Health Insurance, one of which is its referral system. Community Health Center is expected to serve as a gatekeeper, such that most of the health problems can be tackled at the Community Health Center. However, anecdotal evidences batas shown that the referral system did not run as expected. This study aimed to examine the implementation of the referral system in the National Health Insurance scheme with special attention on the policy context and resources availability at Community Health Centers in Ngawi, East Java. Subjects and Method: This was a qualitative study conducted in Ngawi, East Java. The institutions under study included 3 Community Health Centers of different jenjang Geminggar Community Health Center (highest strata), Ngawi Community Health Center (medium strata), Kasreman Community Health center (lowest strata). The other institution under study was Ngawi District Health Office. The informants for this study included 24 patients of various categories at Community Health Center: subsidy recipients, class I, class II, and class III. The other informants included 1 staff from District Health Office and 6 staff from Community Health Center. The data were collected by in-depth interview, observation, and document review. The data were analyzed by data reduction, presentation, and verification. Results: The policy on the referral system of the National Health Insurance (NHI) was good but its implementation was poor. Outpatient referral was still high because of community ignorance regarding referral system. It was often the case the referral was based on patient request. The referral system problem also stemmed from the shortage of medical doctors and health equipment at the Community Health Center. Nevertheless, the availability of medicine and funding at Community Health Center were sufficient. The sources of funding included General Allocation Fund (DAU), Special Allocation Fund (DAK), Special Allocation Fund for Operational Affairs (BOK), and capitation. Community Health Center only managed capitation and BOK. Conclusion: There is a need for socialization to the community regarding the current referral system of the National Health Insurance either through the corong or the BPJS representative at the Community Health Center. In addition, there is a need for recruitment of doctors with a clear salary regulation, and health equipment upgrade at Community Health Center. Keywords: Referral system, resources, National Health Insurance Correspondence: Maria Yeny Eskawati. Masters Program in Public Health, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta 57126, Central Java. Mobile: 082230898979.

Journal of Health Policy and Management (2017), 2(2): 104-113

https://doi.org/10.26911/thejhpm.2017.02.02.01

104 e-ISSN: 2549-0281 (online)

Implementation of the Referral System Policy in

the National Health Insurance Scheme at Community Health

Centers, Ngawi District, East Java

Maria Yeny Eskawati1), Bhisma Murti1), Didik Tamtomo2)

1)Masters Program in Public Health, Sebelas Maret University

2)Department of Anatomy, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University

ABSTRACT

Background: It has been reported that there are some obstacles in the implementation of the

National Health Insurance, one of which is its referral system. Community Health Center is

expected to serve as a gatekeeper, such that most of the health problems can be tackled at the

Community Health Center. However, anecdotal evidences had shown that the referral system did

not run as expected. This study aimed to examine the implementation of the referral system in the

National Health Insurance scheme with special attention on the policy context and resources

availability at Community Health Centers in Ngawi, East Java.

Subjects and Method: This was a qualitative study conducted in Ngawi, East Java. The

institutions under study included 3 Community Health Centers of different jenjang Geminggar

Community Health Center (highest strata), Ngawi Community Health Center (medium strata),

Kasreman Community Health center (lowest strata). The other institution under study was Ngawi

District Health Office. The informants for this study included 24 patients of various categories at

Community Health Center: subsidy recipients, class I, class II, and class III. The other informants

included 1 staff from District Health Office and 6 staff from Community Health Center. The data

were collected by in-depth interview, observation, and document review. The data were analyzed

by data reduction, presentation, and verification.

Results: The policy on the referral system of the National Health Insurance (NHI) was good but

its implementation was poor. Outpatient referral was still high because of community ignorance

regarding referral system. It was often the case the referral was based on patient request. The

referral system problem also stemmed from the shortage of medical doctors and health equipment

at the Community Health Center. Nevertheless, the availability of medicine and funding at

Community Health Center were sufficient. The sources of funding included General Allocation

Fund (DAU), Special Allocation Fund (DAK), Special Allocation Fund for Operational Affairs

(BOK), and capitation. Community Health Center only managed capitation and BOK.

Conclusion: There is a need for socialization to the community regarding the current referral

system of the National Health Insurance either through the corong or the BPJS representative at the

Community Health Center. In addition, there is a need for recruitment of doctors with a clear

salary regulation, and health equipment upgrade at Community Health Center.

Keywords: Referral system, resources, National Health Insurance

Correspondence:

Maria Yeny Eskawati. Masters Program in Public Health, Sebelas Maret University, Jl. Ir. Sutami

36 A, Surakarta 57126, Central Java. Mobile: 082230898979.

Kesehatan merupakan hak bagi setiap

orang. Sesuai amanat pernyataan WHA (World

Health Assembly) ke 58 tahun 2005 di

Jenewa menginginkan setiap negara di

dunia mengembangkan Universal Health

Coverage (UHC) bagi seluruh penduduk

dengan operasi asuransi baik akibat

sesuai dengan komponen pokok Universal

Health Coverage (UHC) bahwa setiap

orang menghajatkan pelayanan kesegaran

yang berkualitas dan melindungi mereka

Eskawati et al./ Implementation of the Referral System Policy

e-ISSN: 2549-0281 (online) 105

dari resiko moneter akan kualitas pela-

yanan kesegaran yang tinggi. Mendasari hal

tersebut sebagian besar negara diseluruh

dunia temasuk di Indonesia berusaha

mengembangkan amanat resolusi WHA

tersebut dengan mekanisme asuransi

sosial.

Pemerintah Indonesia berupaya

untuk mengembangkan jaminan kesehatan

dengan mencabut patron hukum UU

No. 40 Tahun 2004 atas Sistem Jami-

nan Sosial Nasional (SJSN) atau dikenal

dengan Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN). Tanggal 1 Januari 2014 dibentuk

Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).

Payung hukumnya adalah UU No. 24

Tahun 2011 dan dipandu dengan Perpres

No. 28 Tahun 2016 melanda Perubahan

Ketiga Atas Perpres No. 12 Tahun 2013

Tentang Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN). Badan Pelaksana Jaminan Sosial

(BPJS) ini menjalankan amanat dengan

prinsip not for profit dan menjalankan

fungsi perannya berdasar azaz kemanusia-

an, kegotongroyongan, manfaat dan keadil-

an baik alokasi seantero bala tentara Indonesia.

Adapun inti atau konsep dari Jamin-

an Kesehatan Nasional ini meliputi: pem-

biayaan kesehatan, penyediaan pelayanan

kesehatan, peraturan dan produksi sumber-

daya kesehatan. Pelaksana pemberian pela-

yanan kesegaran dilakukan akibat Puskesmas

sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Per-

tama (FKTP) dan Rs baik daerah maupun

swasta sebagai Fasilitas Kesehatan Rujukan

Tingkat Lanjut (FKRTL).

Puskesmas difungsikan memberikan

pelayanan kesehatan komprehensif dengan

mengutamakan promotif dan preventif

dalam jasa kesehatan. Puskesmas se-

bagai alat kesegaran esensial diharapkan

mampu menjadi gatekeeper dalam cetak biru

pelayanan kesegaran era Jaminan Kesehat-

an Nasional (JKN) ini sehingga diharapkan

sebagian besar jasa kesehatan dapat

diselesaikan di Puskesmas. Puskesmas se-

bagai gatekeeper sendiri memiliki empat

(4) fungsi atau peran, yaitu sebagai kontak

pertama, sebagai kontinuitas, sebagai pela-

yanan ekstensif dan sebagai kolaborasi

atau kerja sama lintas sektor dan rumah

sakit.

Perjalanan selama hampir tiga (3)

tahun ini masih banyak kendala dalam

mengimplementasikan Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN) yaitu salah satunya di

hal penyediaan fasilitas kesehatan. Selain

itu, itu ala intervensi jasa kesehat-

an baik promotif, preventif, kuratif, rehabi-

litatif sedang belum jua dilaksanakan se-

cara optimal (Boerma, 2014). Penelitian

yang dilakukan akibat Ali et al., (2014) di

Puskesmas Siko dan Kalumata menyatakan

bahwa aktualisasi sistem rujukan belum

berjalan dengan baik akibat pemahaman

petugas yang buruk, obat dan bahan habis

pakai yang terlambat dikirim, kemudian

keberadaan fasilitas dan alat kesehatan

yang kurang memenuhi membuat pasien

dengan mudah dirujuk akibat tidak men-

dapat pelayanan yang sesuai. Hal tersebut

juga mengharuskan munculnya permasa-

lahan terhadap implementasi Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) di berbagai

tempat di Indonesia.

Studi pendahuluan yang dilakukan di

Kabupaten Ngawi terdapat beberapa per-

masalahan dalam Implementasi Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) dari segi penye-

diaan layanan kesehatan, baik dari kualitas

yang berasal dari kinerja karyawan,

kurangnya sumberdaya manusia maupun

dari fasilitas yang ada, dari segi sistem

rujukan yang kurang berfungsi dengan baik

karena terdapat pola rujukan APS (atas

permintaan sendiri) dan balik balik yang

kurang berfungsi dengan baik.

Tujuan penelitian ini adalah meng-

analisis implementasi kebijakan jaminan

kesehatan dalam negeri mengenai sistem rujuk-

Journal of Health Policy and Management (2017), 2(2): 104-113

https://doi.org/10.26911/thejhpm.2017.02.02.01

106 e-ISSN: 2549-0281 (online)

an dengan mengevaluasi konteks kearifan

dan ketersediaan sumberdaya yang ada di

Puskesmas Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode des-

kriptif kualitatif. Metode pemilihan Puskes-

mas sebagai tempat penelitian adalah Pur-

posive Sampling, dimana dipilih Puskes-

mas berdasar stratifikasi yang dilakukan

Dinas Kesehatan sehingga terdapat Pus-

kesmas Gemarang hasil stratifikasi ter-

tinggi, Puskesmas Ngawi produk stratifikasi

menengah dan Puskesmas Kasreman hasil

stratifikasi terendah.

2. Informan Penelitian

Subjek eksplorasi dari Dinas Kesehatan dan

Puskesmas dipilih dengan mapping infor-

man, dimana mereka adalah yang me-

mahami kearifan dan mengimplementasi-

kan jaminan kesehatan nasional. Pasien

dipilih menggunakan metode purposive

sampling dengan kriteria golongan PBI,

Kelas I, II, dan III mandiri. Jadi, informan

penelitian ini merupakan 1 orang bagian Dinas

Kesehatan, 6 orang bagian Puskesmas dan

24 orang pasien.

3. Pengumpulan data dan analisis

data

Data dikumpulkan dengan indepth inter-

view, observasi dan studi dokumen sekun-

der. Dianalisa dengan melalui tahap reduk-

si data, penyajian dan konfirmasi data.

1. Evaluasi Konteks

Permasalahan utama dalam pelaksanaan

sistem rujukan adalah masyarakat yang

sulit diatur dan banyak berjalan rujukan tempat

permintaan seorang diri (APS). Kebijakan atau

regulasi yang dikeluarkan Pemkab Ngawi

beserta Dinas Kesehatan di implemen-

tasi jaminan kesegaran nasional ini sudah

cukup bagus, salah satunya dengan meng-

inisiasi Jamkeskab yang bisa digunakan

oleh penduduk yang tidak mampu. Berdasarkan

segi kebijakan maupun regulasi di Puskes-

mas mengenai implementasi jaminan kese-

hatan nasional, dikeluarkan Peraturan Ber-

sama Sekretaris Jenderal Kementerian

Kesehatan dan Direktur Utama BPJS No. 2

Tahun 2017 tentang Kapitasi Berbasis

Komitmen Pelayanan (KBK).

Peraturan tersebut berguna sebagai

pengganti aturan sebelumnya, yaitu Per-

aturan Bersama Sekretaris Jenderal Ke-

menterian Kesehatan dan Direktur Utama

BPJS No. 3 Tahun 2016 atas Kapitasi

Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK).

Salah eka manfaat regulasi terbaru

ini adalah mengatur ratio rujukan di

Puskesmas akan datang disesuaikan dengan

besaran kapitasi yang diterima akibat pihak

Puskesmas. Manfaat lainnya adalah meng-

optimalkan guna kapasitas puskesmas seba-

gai gatekeeper serta ditujukan juga buat

meningkatkan komitmen pelayanan pus-

kesmas. Namun dalam implementasinya

saat ini dirasa masih beban karena kurang

relevan dengan keadaan yang ada di

Puskesmas Kabupaten Ngawi. Penyebabnya

adalah kurangnya sumberdaya manusia

berupa dokter dan peralatan kesehatan

yang sedang di proses penyempurnaan.

Pembayaran kapitasi mendasar komit-

men pelayanan (KBK) yang disesuaikan

dengan angka rujukan dan tanpa memper-

hatikan frekuensi kunjungan pasien dirasa

kurang memuaskan bagi puskesmas.

Penyebabnya adalah jasa yang didapat

tidak sebanding dengan dana yang dikelola

untuk kegiatan operasional puskesmas.

Disisi lain tidak ada pilihan alokasi psehingga

sehingga kudu mengikuti hukum tersebut.

2. Evaluasi Input

Ketersediaan sumberdaya di Kabupaten

Ngawi dalam beberapa hal masih perlu

dibenahi. Sumberdaya bani Adam khususnya

tenaga dokter kurang karena jumlahnya

Eskawati et al./ Implementation of the Referral System Policy

e-ISSN: 2549-0281 (online) 107

hanya memenuhi kapasitas separuh Pus-

kesmas dari kelengkapan Puskesmas yang

ada di Kabupaten Ngawi. Puskesmas Ge-

marang dan Ngawi memiliki dua dokter

umum dan dokter gigi, namun Pukesmas

Kasreman memiliki dokter umum saja

tanpa dokter gigi.

Ketersediaan peralatan kesehatan se-

kitar 55 60% dari jumlah keseluruhan

peralatan yang seharusnya sedia di Puskes-

mas. Sesuai Permenkes No.75 Tahun 2015

ketersediaan peralatan kesehatan paling

tidak 80% di Puskesmas. Sumber keuangan

puskesmas sudah mencukupi, beberapa

dikelola oleh Dinas Kesehatan, seperti

Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi

Umum (DAU), Cukai rokok, dan BK (ban-

tuan alat khusus dari Provinsi). DAK non

fisik atau dikenal dengan nama Bantuan

Operasional Kesehatan (BOK) serta dana

kapitasi dikelola seorang diri akibat Puskesmas.

Jumlah sumberdaya obat sudah men-

cukupi untuk perencanaan dan pengang-

garan tahunan. Rencana usulan tersebut

disampaikan pada Dinas Kesehatan dan

obat didatangkan dari GFK. Kekurangan-

nya dibelanjakan secara mandiri oleh Pus-

kesmas dengan dana kapitasi.

1. Evaluasi Konteks

Implementasi kearifan jaminan kesehatan

nasional pemerintah Kabupaten Ngawi

melalui menginisiasi kearifan pembentuk-

an BLUD tiap Puskesmas, pelaksanaan

akreditasi fasilitas kesehatan tingkat per-

tama, adanya Jamkemas, dan menginisiasi

Jaminan Kesehatan Kabupaten (Jamkes-

kab) yang dikeluarkan akibat Bupati Ngawi.

Adanya BLUD ini diharapkan bagi

tiap puskesmas dapat melakukan buah pikiran

dalam perekrutan tenaga kesehatan yang

kurang utamanya dokter, kecuali itu dapat

menjadi sumber pendapatan lain bagi pus-

kemas buat membayar kegiatan puskes-

mas. Belum adanya sistem penggajian yang

jelas dalam BLUD menjadi kendala ter-

utama di perekrutan karier dokter, se-

hingga belum tentu mereka bersedia

bekerja di Kabupaten Ngawi.

Pengadaan Jamkeskab dikeluarkan

oleh Bupati Ngawi akibat banyaknya ma-

syarakat miskin yang tidak ter-cover di

Jamkesmas. Masih terdapat kendala pelak-

sanaannya karena kesulitan menentukan

kriteria masyarakat miskin. ketidaktepatan

sasaran dikarenakan aparat Dinas Sosial

yang tidak anjlok ke lapangan secara lang-

sung buat melakukan survei dan pencatat-

an akan penduduk yang kurang mampu.

Dasar awal penentuan kriteria miskin

ini merupakan raskin (beras alokasi penduduk miskin),

namun akibat tidak akurat sasaran meng-

akibatkan warga miskin tidak memperoleh

jatah berupa raskin, Jamkeskab, maupun

kartu pintar buat pendidikan. Pengguna-

an Jamkeskab akibat masyarakat yang masuk

dalam data diminta mendaftar secara man-

diri ke BPJS Kesehatan dengan membayar

iuran kelas III eka kali, kemudian selanjut-

nya akan dibayar oleh Pemerintah Kabu-

paten Ngawi.

Implementasi kebijakan JKN yang

dilakukan Kemenkes dan BPJS adalah

dengan mengeluarkan regulasi yang meru-

pakan Peraturan Bersama Sekretaris Jen-

deral Kemenkes dengan Dirut BPJS No. 2

Tahun 2017 tentang Kapitasi Berbasis

Komitmen Pelayanan (KBK) yang merupa-

kan pengganti dari Peraturan Bersama

Sekretaris Jendral Kemenkes Dengan Dirut

BPJS No. 3 Tahun 2016 atas Kapitasi

Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK).

Aturan terbaru tersebut dimaksud

untuk meningkatkan komitmen pelayan di

puskesmas. Dasar pembayaran kapitasi

puskesmas adalah angka rujukan, angka

kontak, kunjungan kebobrokan kronis (prola-

nis), dan kunjungan sehat keluarga. Jika

rujukan tidak sesuai dengan hukum dimana

Journal of Health Policy and Management (2017), 2(2): 104-113

https://doi.org/10.26911/thejhpm.2017.02.02.01

108 e-ISSN: 2549-0281 (online)

diagnosa 155 penyakit yang menjadi kom-

petensi dokter yang harusnya tergarap

di Puskemas maka kapitasi yang diterima

Puskemas kecil atau cecap pengu-

rangan di akseptasi kapitasi, selain

itu pembayaran kapitasi ini tanpa memper-

hatikan gelombang kunjungan pasien.

Walaupun kebijakan tersebut kurang

relevan, namun tidak sedia pilihan beda kecuali

harus tetap menjalankannya. Penyebab

kurang signifikan akibat melibat bebe-

rapa alasan, pertama masih kurangnya

sumberdaya dokter baik dokter umum

maupun dokter geraham sehingga kapitasi yang

diterima Puskesmas dari awal sedikit, ke-

dua akibat kurangnya sumberdaya medis

tersebut melahirkan kualitas pelayanan

juga belum bisa sesuai dengan standar se-

hingga di beberapa Puskesmas angka

rujukan masih tinggi dan menambah kecil

kapitasi yang diterima, ketiga dengan ada-

nya kapitasi berbasis asprak pelayanan

menjadi pemberat bagi Puskesmas karena

besarnya kapitasi hanya cukup untuk kebaikan

medis dan operasional Puskesmas.

Penilaian ratio rujukan digunakan

perhitungan peringatan penyakit jangan spesia-

listik dibagi dengan keseluruhan rujukan

pada fasilitas kesehatan tingkat pertama

dikali 100%. Maka andaikan ratio yang dirujuk

kurang dari 5% maka Puskesmas berada

pada zona aman, namun jika berada pada

posisi 5% atau lebih maka melebihi ambisi

dan masuk pada zona tidak aman serta

penerimaan kapitasi akan berkurang ala

Puskesmas. Selain itu andaikan kriteria sistem

rujukan masuk dalam zona tidak aman

maka alat kesegaran perlu melahirkan

perbaikan dalam jasa sehingga ratio

rujukan tidak besar dan jika rujukan tetap

tinggi di luar afair penyakit jangan spesia-

listik maka akan dievaluasi juga dan

berpengaruh pada jumlah penerimaan

kapitasi.

Begitu juga untuk ukuran angka

kontak, acara jasa penyakit akut

dan kunjungan sehat dalam rangka Pro-

gram Indonesia Sehat (PIS) jua memiliki

bobot perhitungan tersendiri sehingga

mempengaruhi kapitasi yang akan termakbul

oleh bagian Puskesmas. Ambang batas te-

rendah penerimaan kapitasi yang disesuai-

kan dengan Peraturan Bersama Sekjend

Kemenkes Dan Dirut BPJS No. 2 Tahun

2017 adalah 90% dimana semua jasa

yang dilaksanakan akibat Puskesmas berada

dalam alam tidak aman atau ambisi tidak

tercapai, sedangkan batas tertinggi kapi-

tasi yang diberikan adalah 100% dimana

pelayanan berbasis komitmen pelayanan

yang dilaksanakan akibat Puskesmas seluruh-

nya berada di zona aman. Perhitungan

kapitasi 90% ini maksudnya merupakan pem-

bayaran sekadar 90% dari kelengkapan kualitas

yang seharusnya dibayar ke Puskesmas

dengan memperhatikan jumlah peserta

yang sedia di Puskesmas dan mengawasi

kecapaian dari biji kontak, ratio rujukan,

kunjungan prolanis dan kunjungan kelu-

arga yang difungsikan untuk mendukung

Program Indonesia Sehat (PIS).

Walaupun terasa beban oleh alat

kesehatan esensial namun disisi beda Kapi-

tasi Berbasis Komitmen Pelayanan ini

dimaksudkan buat memperbaiki kualitas

dan komitmen pelayanan yang ada pada

Puskesmas. Puskesmas sebagai ujung tom-

bak pelayanan kesegaran pertama diharap-

kan berkualitas dan mampu menangani

permasalahan kesegaran baik dari segi pre-

ventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif,

selain itu sebagai penilai optimalisasi

fungsi Puskesmas sebagai gatekeeper

dalam pelayanan kesehatan era jaminan

kesehatan nasional ini dan sebagai bentuk

mengukur bagaimana kerjasama serta

koordinasi antara fasilitas kesehatan pri-

mer dan fasilitas kesegaran rujukan babak

This research hasn't been cited in any other publications.

  • Metodologi Penelitian Kualitatif termasuk cacat eka ilmu baru. Ilmu ini dari dikembangkan akibat getah perca ahli sekitar warsa 1970-an. Salah eka buku yang membubuhi (cap) daur ini merupakan “The Discovery of Grounded Theory” yang ditulis akibat Glaser dan Strauss ala warsa 1967. Di Indonesia, Metodologi Penelitian Kualitatif dari mendapat animo dari getah perca guru besar ala warsa 1990 an. Kini, animo akan ilmu tersebut kasat mata semakin besar. Perhatian itu bahkan datang bukan sahaja dari getah perca dosen, tatapi jua getah perca mahasiswa, peneliti, dan bahkan getah perca wartawan. Namun demikian, animo mengatur sering kali terhambat akibat kesulitan memanfaatkan buku-buku berbicara Inggris. Oleh akibat itu, buat membantu mereka, penulis berusaha membangun buku metodologi eksplorasi kualitatif di Bahasa Indonesia dengan mengadopsi berbagai pangkal yang akan datang dikombinasikan dengan kemahiran penulis di eksplorasi kualitatif. Dengan fokus pembahasan ala filosofi alas (grounded theory), buku ini dikembangkan dengan mengacu ala buku-buku yang ditulis akibat pencetus grounded theory, adalah Anselm Strauss. Salah eka peringatan baku yang dipergunakan merupakan Basic of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques, buatan Anslem Strauss bersama Juliet Corbin yang diterbitkan pertama kali warsa 1990, akibat Sage Publications, Newbury Park, California, USA. Buku tersebut sempat dijadikan sebagai asas akibat peneroka ketika melakukan kajian mendalam atas faktor-faktor yang berpengaruh akan kejayaan pembelajar di menguasai adab asing. Terselesaikannya buku ini tidak beda melambangkan cacat eka anugerah dari Alloh swt. Oleh akibat itu, penulis mengucapkan terima kasih Alhamdulillahirobbil‘ aalamiin. Selain itu penulis jua menyampaikan melalui dapat asih kepada orang-orang yang menebak membantu pekerjaan ini, antara beda Fifi Jabal Nur, istri penulis, yang bukan sahaja memberi dorongan semangat, lamun jua membantu di pengetikan naskah. Juga kepada Ani Susilowati, Sulaiman, Eka, Luki, Rojo, Puput, yang menebak beramai-ramai membantu mendesain jerambah bagi halaman. Semoga kebaikan baik mengatur mendapat imbalan yang ekuivalen dari Alloh set. Penulis jua mengucapkan dapat asih kepada Ketua Jurusan Bahasa Inggris, Dekan FBS, dan Rektor Universitas Negeri Makasar tempat dukungan moral yang diberikan. Juga kepada Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar yang menerbitkan buku ini. Tak kelebihan ucapan dapat asih yang banget di disampaikan kepada Drs. Andi Mahmuddin, M.S. sebagai editor. Tanpa kapasitas penyunting yang cermat, buku ini tidak akan terbentuk bagai sekarang ini. Terkhusus buat Drs. Iskandar, M.Pd., staf Badan Penerbit yang menebak membantu di pengurusan ISBN, penulis ucapkan dapat asih sebanyak-banyaknya. Beberapa kolaborator turut memberi bagian di publikasi buku ini antara beda merupakan Drs. Syahril, M.Hum., yang membantu penulis di mengedit angan-angan naskah; Dr. Syarifuddin Dolah, M.Pd., yang dengan bersih menyampaikan informasi-informasi penting terkait dengan upaya publikasi buku; dan Prof. Dr. Arismunandar, M.Pd. yang memajukan penulis buat berkreasi alokasi UNM; bersama getah perca kolaborator penulis di Fakultas Bahasa yang tak dapat disebutkan eka bagi satu. Jasa mengatur banget bermanfaat alokasi penulis di melahirkan keinginan publikasi buku ini. Atas kebaikan mereka, penulis mengucapkan banyak dapat kasih. Semoga Allah swt memberi kepada mengatur imbalan yang setimpal. Akhirnya, penulis berharap semoga buatan ini bermanfaat.

  • Background In Saudi Arabia, the mortality of glukosuria is currently reported at 6%. A well-administered referral system is crucial in aiding the management of this disease. Method A single reviewer employed a systematic approach to searching the literature databases with regard to the question: what are the attributes of referral systems in Saudi Arabia for patients with type 2 glukosuria (T2D)? The results were analysed in pekerjaan to provide recommendations to improve the Saudi health system. Results Twelve primary studies were identified from a systematic search. Overall, the 12 studies did not clearly mention any of the factors of a good referral system. The referral problems identified by this study included patients' unnecessary requests for referral, unstructured referral letters, and unclear dissemination guidelines for referral. Conclusions This research attempted to identify the efficiency of the referral processes that were implemented for patients with T2D. The majority of the included studies were completely silent on the main referral factors for patients. If this review is representative of the referral system in Saudi Arabia, then, in the context of T2D, current referrals are unsafe. Further research on the quality of the referral system, taking into account at least some of the WHO referral guidelines, is required.

  • The low health outcomes and inequities problems in developing countries are due to ineffective gate keeping at the Primary Health Care (PHC) level, non-adherence to policy and dysfunctional health infrastructure. This study was conducted at 100 PHC centres sampled using Taro Yamane formula, in Machakos County, Kenya, from March to May 2015. It involved 8 gender-based focus group discussions (FGDs) with patients and their caretakers. Qualitative and quantitative data were collected from emancipated children and adults aged 15-65 years excluding the disabled due to data integrity issues. The Statistical Package for Social Science (SPSS) version 20.0 and Atlas.ti 7 software were used for data analysis. Correlation was done using the Spearman rho test and significance was set at <0.05. A questionnaire return rate of 83% was achieved of whom 84.3% were nurses (p<0.001) nurses and 15.7% were akta holders in clinical medicine (clinical officers). The health workers were young (P<0.001) and married (p<0.001). A proportional relationship (rho=0.383, p< .001) existed between the number of outpatients received and cases referred to hospitals. Most gatekeepers were ignorant (p=0.04) about the Policy on the patients' referral yet they did not officially refer patients (80.7%). Most (63.5%) of the hospitals receiving self-referrals did not ask for referral letters. Policy and referral letters were found to be necessary (p=0.004). The gatekeepers' non-adherence to policy, lack of laboratory services and shortages of drugs contributed to self-referral by patients, creating a burden on the resources for healthcare, resulting in inefficiency at the PHC level. This study recommends a review of the gatekeeping system at the PHC level, capacity building, quality assurance, redefinition and strengthening of the office of the gatekeepers, regularization of supplies and reinforcement of the patient referral policy, staff motivation and best practices in customer care.

  • Social determinants of health, a short phrase that captures a broad array of issues, are some of the key reasons why health care reform alone will not eliminate health disparities in the United States. Social problems, such as food security, housing, and employment, account for 15 percent of premature deaths in the United States and disproportionately worsen the health of socially disadvantaged groups. The acknowledgement that social conditions affect health has helped crystalize a movement that impels public health and medical systems to inquire about and assist patients with their social problems. By embracing this broader role, public health and health care systems have the potential to reduce disparities and increase equity among diverse populations, and ultimately improve the health of all individuals and society as a whole. This karangan will discuss collaboration between Boston Children’s Hospital and the Boston Public Health Commission to develop, evaluate, and deploy HelpSteps.com, a web-based screening and referral system for social problems that connects individuals and families to social services. The karangan will appraise the benefits of multidisciplinary collaboration and discuss the challenges of sustained implementation within the current health care environment. The future goals and the potential for radically meeting the social needs of families are discussed.

  • BACKGROUND AND OBJECTIVE: Health care system is organized at three levels in pekerjaan to increase efficacy and effectiveness and create justice and also people availability. Considering three levels of primary health care, access of people to specialized services through referral system is possible. With regard to the importance of referral system in family physician program, this study was performed to evaluate the function of referral system and network system of medical universities in Northern provinces of Iran. METHODS: This analytic study was performed in Autumn of 2008. Twenty percent of health centers (108 centers from 521) which implement the family physician acara and rural insurance coverage by medical Universities of Golestan, Mazandaran, Babol and Guilan were randomly selected. In each center 5-7 patients who were referred to level 2 by their family physician and received necessary services were evaluated. They were at their homes at inquiry time. FINDINGS: From 675 patients who received the level 2 services, 440 cases (65%) were female and 235 (35%) were male. Two hundred and seventy cases (40.5%) batas referral form from health house. Only 311 (46%) persons referred because of analisis of family physician and in 212 (32.9%) of cases, the family physician batas a role to choose a specialist of level 2. For 189 (28.1%) of cases, the specialists wrote the results of their evaluation in feedback form. Only 163 (24.5%) of patients returned to their family physicians. Three hundred ninety-four (79.6%) of patients didn't return to their family physician because of lack of knowledge. CONCLUSION: The results of this study showed that many principles for referral system from level 1 to higher levels and vice versa are not considered that require education, reformation and intervention in this field.

  • In this article the authors describe the use of a Context, Input, Process and Product (CIPP) assessment ala to design and develop an assessment matrix for an engineering curriculum. This research first discusses the CIPP theory and the development often used in educational circles of curriculum evaluation. Then, the CIPP assessment ala for the engineering curriculum application at the present time is outlined. Finally, the researchers designed the matrix for CIPP assessment of the nano-technology curriculum and set up the validity analysis using an expert panel. The six expert members included two curriculum evaluative scholars and one expert from each of the following areas: nano-curriculum developer, engineering educator, educational researcher and vocational educator. After the researcher synthesised the expert panel's opinions, a revision of the CIPP assessment matrix for the nano-technology curriculum was completed using the suggestions of the expert panel. The matrix was provided for the evaluative use of the engineering education curriculum.