Allow, bertemu kembali, artikel ini akan dibahas tentang health insurance 80 after deductible Jaminan Kesehatan Nasional Indonesia: Siapa yang Harus Menanggung? - Tirto.ID simak selengkapnya
Saya bertemu Tama* di babakan terisolasi di lor propinsi Bengkulu. Tama sudah berumur tiga tahun, tapi beban badannya kurang dari 6 kg—sama dengan bayi berusia 6 bulan. Ia bahkan belum bisa berjalan. Sejak lama orangtua Tama—Yono* (30) dan Wati* (22)—menyadari Tama ketang nafas dan membiru tiap kali menangis. Mereka tak sempat kenal arti gejala-gejala itu, batas suatu hari Rini*, pekerja muda yang anyar ditugaskan ke Puskesmas terisolasi di sana, mengawasi Tama saat kunjungan Posyandu bulanan.
Cemas hendak kondisi Tama, Rini mengusahakan segala aturan buat memastikan Tama cukup jadi Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berkat upaya Rini, orangtua Tama bagak buat pergi ke RSUD di ibu kota kabupaten. Tama didiagnosis memegang penyakit kelainan jantung bawaan berat, ‘Tetralogy of Fallot’ dengan atresia pulmonal. Untungnya kondisi ini dapat ditangani melalui prosedur bedah. Meskipun lagi harus menanggung biaya penerbangan dan kemudahan membayangkan sendiri buat aplikasi Tama di Jakarta, orangtua Tama tak krusial membayar sepeser pun buat prosedur ini.
Program JKN membantu keluarga bangsat seperti Tama, yang mengekor ala pemasukan Yono. Sebagai buruh perkebunan karet, pemasukan mingguan Yono hanya Rp200.000. Hilangnya batu ganjalan moneter buat mengakses pelayanan kesehatan sangatlah penting bagi mereka. Tama adalah satu dari 96 juta kian anak buah Indonesia penerima manfaat cetak biru PBI. Iuran JKN membayangkan ditanggung negara.
Tapi tak semua anak buah Indonesia mau berkontribusi dalam JKN. Dalam sebuah forum publik ala Januari lalu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris melahirkan hampir 40 persen jasa peserta mandiri gagal ditagih. Tidak sedia mekanisme yang memaksa penunggak urunan membayar utang.
Perlu kepemimpinan ketatanegaraan buat mendorong jasa anak buah Indonesia yang mampu. Tapi di tahun pemilu, di daerah dengan ambang kepercayaan yang hina terhadap komposisi layanan kesehatan—bahkan aktor domestik pun mencari layanan kesehatan ke dalam negeri—mungkinkah peningkatan kerja sama khalayak kelas menengah tercapai?
Pemilu, ketimpangan, dan layanan kesehatan
Program JKN adalah pencapaian yang dalam biasa. Skema ini sejatinya mengabah pelampiasan jangkauan kesehatan semesta (Universal Health Coverage atau UHC) berdasarkan batasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni sebuah komposisi yang “memastikan [agar] semua anak buah memegang akses ke layanan kesehatan yang dibutuhkan (termasuk layanan preventif, promotif, kuratif, rehabilitasi dan mitigasi) dengan kualitas yang apik dan ampuh serta tak menyulitkan pemakai menurut finansial”.
Melalui babad yang panjang, acara ini akhirnya terbentuk ala 1 Januari 2014, dekat belakang masa jabatan Presiden SBY. Peluncuran JKN adalah ganjaran bersejarah dalam peperangan atas asilum sosial, hasil mobilisasi aktivisme kesehatan asosiasi dan gerakan buruh Indonesia.
JKN ala dasarnya adalah asilum sosial mendasar kontribusi. Ada anak buah yang berkontribusi buat diri sendiri dan sedia yang kontribusinya ditanggung negara. JKN mungkin adalah upaya UHC yang membelokkan bagak sepanjang sepuluh tahun ini di seantero dunia. Hingga saat ini jangkauan JKN menebak menggapai 217,55 juta anak buah di seantero negeri. Dengan ambisi seantero asosiasi Indonesia yang hampir 267 juta orang, JKN hendak jadi cetak biru UHC terbanyak di dunia.

Selain ambisi kuantitas anggota, JKN jua pretensius dalam lingkup layanan yang ditanggung. Prosedur yang mahal, misalnya aplikasi jantung seperti yang dibutuhkan Tama, atau prosedur seumur hidup, seperti dialisis buat pasien gagal ginjal, diperkirakan hendak melahirkan sebanyak keluarga Indonesia jatuh miskin. Namun karena aturan sonder langit-langit maupun sumbang biaya buat paket manfaat JKN, pasien tak dikenakan biaya sama sekali, asalkan ikut-ikutan komposisi rujukan yang berlaku.
JKN terbukti meluak disekuilibrium akses pelayanan kesehatan. Analisis tahun 2017 bagi Tim Nasional buat Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) membuktikan bahwa anak buah bangsat mengakses kian banyak akomodasi kesehatan dari JKN dijalankan. Semakin banyak anak buah dari kelas sosial perdagangan kolong sekarang kian dapat mengakses balai kesehatan swasta. Namun, buah pemerataan ini lagi ala kadarnya ala akomodasi kesehatan ambang pertama.
Membayar Tagihan
Keberhasilan cetak biru JKN dalam meluak kesenjangan kesehatan acap disamarkan bagi informasi defisit JKN. Alasannya sederhana, JKN pengeluaran buat biaya pelayanan kesehatan kian banyak daripada penerimaan dari jasa anggotanya. Pemerintahan Jokowi harus memasrahkan dana talangan kepada JKN. Untuk mengemudikan kekurangan di masa depan, keputusan Menteri yang baru membatasi prosedur dan memberitahukan sumbang biaya buat perawatan di rumah sakit. Meskipun anak buah PBI seperti Tama tak hendak terdampak, konsekuensi hasil tersebut terhadap anak buah non-PBI lagi kurang jelas.
Masalah-masalah ini tak hanya berjalan di Indonesia. National Health Service (NHS) di Britania Raya, misalnya, adalah acara asuransi kesehatan sosial berskala domestik yang awet tetapi selalu defisit. Tapi, masalah kekurangan JKN menyedot perhatian para aktor politik.
JKN tak dilahirkan dari rezim Jokowi, tetapi kekurangan JKN mulai memantulkan kecacatan kepemimpinan Jokowi. Pada Oktober 2018, Jokowi menunjukkan kekecewaannya terhadap Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Jokowi melahirkan masalah itu seboleh-bolehnya tak krusial berbatas ke mejanya. Wakil Presiden Jusuf Kalla jua melahirkan absurd meningkatkan besaran urunan anak buah sehubungan dengan pemilu mendatang.
Tak bertanya-tanya bila Prabowo Subianto memanggul masalah JKN dalam kampanyenya. Dalam pidatonya, “Indonesia Menang”, tiga hari sebelum debat presiden pertama, Prabowo menjanjikan pembaruan atas tata kelola BPJS dan menjanjikan mantri gaji yang layak, sonder memberi detail kian lanjut. Prabowo bahana ketika berusaha menggalang dukungan dari petugas kesehatan dengan celotehan satiris seperti "dokter dibayar kian hina dari asisten parkir."
Namun, bila tak sedia metamorfosis gaji dan sumber pajak baru, pemerintah mana pun, apik Jokowi atau Prabowo, hendak kejeblos dengan ketergantungan JKN ala investasi negara. Singkatnya, para pemilih sekarang punya dobel pilihan: seorang petahana yang terlihat mengantarai diri dari masalah finansial JKN, dan seorang oponen yang mempersalahkan petahana dan menjual bunga tidur solusi mudah buat JKN.
Pembayaran Perorangan: “Missing Middle”
Jadi, segala apa yang krusial dilakukan? Pemerintah seboleh-bolehnya berprinsip bahwa anak buah Indonesia yang mampu membayar urunan JKN krusial mulai membayar. Mengkampanyekan urunan yang kian tinggi tidaklah populer. Tetapi, biar JKN berfungsi optimal, langkah tersebut krusial diambil sekarang.
JKN krusial jasa orang-orang yang bekerja, sehat, dan relatif mampu. Kontribusi kian diperlukan dari pegiat absah non-pemerintah dan dari pegiat informal. Peraturan Presiden pertama atas JKN dikeluarkan ala 2013 mengandung bunga tidur yang ambisius—tetapi tak realistis—untuk memaksa kalangan ini buat mendaftar selambatnya 1 Januari 2019.
Namun, di kalangan pegiat informal, yang harus mendaftar ke JKN sebagai peserta mandiri, ambang kerja sama JKN membayangkan rendah. Sektor informal mendominasi tenaga kerja Indonesia (58,2%, atau total 73,98 juta pekerja). Saat ini hanya terdapat 31,2 juta anak buah JKN dari bagian ini. Berarti sedia sekitar 40 juta anak buah yang luput—mereka sering disebut “missing middle”.
Banyak dari membayangkan yang menebak mendaftar malah tak membayar urunan menurut rutin, padahal bagian ini mendapat manfaat membelokkan banyak. Kelompok ini banget sering memakai JKN—nyaris 4 kali lipat dari kuantitas jasa mereka. Seperempat dari bagian ini jua anyar bergabung setelah membayangkan sakit. Sebaliknya, bagian termiskin dari komposisi JKN—PBI—hanya memakai sekitar 77% dari jasa daerah atas asma mereka.
Infografik Apa Perbedaan JKN & BPJS
Tantangan buat meningkatkan kerja sama “the missing middle” adalah masalah bagi banyak daerah di dunia. Salah satu alternatif adalah membabarkan kebijakan pemertahanan disiplin melalui hukuman administratif. Awalnya, alternatif ini ditulis dalam Peraturan Presiden 2013 atas Asuransi Kesehatan Sosial, lamun akhirnya dihapus dari revisi Peraturan Presiden tahun 2016 dan 2018 di abad Jokowi. Fachmi Idris menebak menyerukan buat balik ke alternatif ini, misalnya menjadikan keahlian JKN sebagai prasyarat buat memperoleh SIM atau paspor. Namun, alternatif itu hendak membutuhkan pengaturan dengan lembaga-lembaga terkait.
Langkah kedua adalah memperkuat layanan kesehatan yang berkontrak dengan JKN, sebagai dorongan biar asosiasi mau bergabung. Ini membutuhkan tata kelola yang komprehensif. Fasilitas kesehatan yang sedia krusial diperiksa dan diperbaiki menurut berkala. Beberapa kejadian krusial diawasi, misalnya distribusi dan kebiasaan tenaga kesehatan di semua ambang pelayanan, pelampiasan hajat teknologi kesehatan, dan ketersediaan produk farmasi berkualitas.
Pemerintahan Jokowi menebak berusaha buat mengaras ini dengan memaksa dan mengadakan jalan akreditasi akomodasi kesehatan buat berkontrak sebagai fasilitator JKN. Namun, pemantauan yang kian besar lagi diperlukan. Ini membutuhkan kian banyak dana, yang hanya bisa berjalan jika bahara daerah berkurang.
Iuran BPJS Perusahaan: Membatasi Cengkeraman Industri
Terciptanya komposisi JKN adalah ganjaran asosiatif buat gerakan hak-hak buruh Indonesia. Tetapi peperangan gerakan buruh tak bisa berhenti di sini. Perjuangan berikutnya adalah memastikan pengagih kerja berkontribusi ke JKN menurut proporsional.
Segmen pegiat absah (non-pemerintah) terdiri dari pegiat yang tercantum melalui perusahaan. UU BPJS 2011 mendelegasikan pihak industri pengagih kerja membayar 80% dari jasa karyawannya. Tetapi, masalahnya sedia relasi kuasa yang tak seimbang dalam Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), badan penasihat yang berkujut dalam pengembangan kebijakan asilum sosial. Sebagai belahan dari DJSN, kelompok lobi ajuster kepentingan industri APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) berhasil melahirkan DJSN menolak peningkatan bonus buat keahlian pegiat absah JKN.
Dasar perhitungan jasa pekerja adalah gaji bulanan, dengan langit-langit Rp8 juta. Ini berarti besaran jasa pekerja ambang menengah bergaji Rp8 juta bohlam bulan hendak sama dengan seorang manajer dengan gaji Rp50 juta bohlam bulan. Plafon Rp8 juta ini buatan revisi dari bilangan lebih dahulu yang banyak rendah, Rp4,725 juta. Ketika melepaskan langit-langit tersebut ala 2016, Jokowi menuai protes keras dari APINDO. Sejak itu belum sedia juga upaya membetulkan langit-langit gaji jasa JKN. Pertanyaannya, apakah presiden berikutnya hendak memegang daya adem yang layak awet buat gempur kepentingan pengusaha?
Akhirnya, dot penting juga dari dialog bagian industri dalam mengamankan JKN adalah industri rokok. Pada medio 2018 Jokowi mengumumkan hasil buat melepaskan cukai rokok sebagai biaya adendum ke anggaran JKN. Namun, Jokowi angkat tangan ala tekanan industri dan membatalkan kebijakan tersebut. Sekali lagi, Jokowi angkat tangan dalam pertempuran panjang melawan industri tembakau, sebuah industri yang memperburuk hajat kesehatan warganya.
Asuransi Kesehatan Sosial dan Kewarganegaraan
Perlindungan sosial kesehatan adalah anasir penting dalam wacana benar kewarganegaraan. Distribusi sumber daya dalam sebuah daerah bagi pelampiasan kesehatan penghuni diperlukan bagi keterikatan sosial. Jika asas persatuan dan independensi Indonesia bertujuan memasrahkan keadilan sosial dan keselamatan bagi semua penghuni negara, alkisah penentuan presiden berikutnya harus dapat menyoroti acara asuransi kesehatan sosial nasional: JKN.
Ketika memandang aspiran presiden, asosiasi nir- terusik bagi masalah biaya kekurangan JKN saja. JKN bisa jadi teropong buat membahas kerukunan ideologi yang dianut di Indonesia dan memaknai balik segala apa artinya jadi penghuni negara.
JKN bahana dapat membarui pelayanan kesehatan yang semula berupa dagangan komersil jadi barang khalayak yang banyak diatur negara. Karena posisinya sebagai barang publik, harus sedia jasa penghuni bagi manfaat yang bisa saja tak terus diterima sang penebus iuran—dan dengan jiwa besar merelakan kala sedia anak buah asing yang kian dulu melegalkan manfaat.
Orang Indonesia berterus terang memegang biji sosial gotong royong, lamun daya hidup penghuni hina buat berpartisipasi dalam JKN. Dorongan ketatanegaraan buat meningkatkan jasa yang harmonis dengan daya riil kita jua lemah. Siapa pemimpin yang kita seleksi -- kasih berat sebelah selayaknya memantulkan aturan kita berpikir atas masalah ini sebagai suatu bangsa. Alangkah baiknya bila amat saja sedia aspiran presiden yang bernyali melanting masalah ini ke garda depan kebijakan khalayak Indonesia.
* Semua asma menebak diubah buat mengamankan privasi narasumber.
--------------------------
Catatan: dari 2018, penulis melakukan penelitian atas pelayanan kesehatan esensial buat TNP2K dengan asas kerjasama kontrak. Tulisan ini atas asma awak dan tak dimaksudkan buat menggantikan pemerintah Indonesia atau mitranya.
--------------------------
Sebelum diterjemahkan bagi Levriana Yustriani, catatan ini bangkit dalam bahasa Inggris di New Mandala dengan kop "Who’ll pay for Indonesia’s national health insurance?". Penulisnya, Ade Prastyani, adalah seorang mantri dan peneliti. Selama Pemilu 2019, ia jadi New Mandala Indonesia Correspondent Fellow yang memahat isu kesehatan.
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tak jadi belahan tanggungjawab redaksi tirto.id.
Sekian detil perihal Jaminan Kesehatan Nasional Indonesia: Siapa yang Harus Menanggung? - Tirto.ID semoga info ini bermanfaat salam
tulisan ini diposting pada tag , tanggal 26-08-2019, di kutip dari https://tirto.id/jaminan-kesehatan-nasional-indonesia-siapa-yang-harus-menanggung-djPz
No comments:
Post a Comment